REVIEW Indonesia - ANT-MAN AND THE WASP (2018): Masih film Superhero yang menyenangkan



 ANT-MAN AND THE WASP akhirnya tayang juga. Setelah kita dibuat terpukau dengan BLACK PANTHERnya Ryan Coogler, kemudian kita dibuat kegirangan sekaligus lumayan Depresi dengan AVENGERS: INFINITY WAR, kita akhirnya akan dibuat bernafas sejenak dan bersenang-senang kembali dengan film MCU terakhir di 2018 ini. Masih ditangani Peyton Reed, akankah film ini masih menjadi film superhero yang penuh kejutan seperti pendahulunya? 

 Setelah kejadian di CAPTAIN AMERICA: CIVIL WAR, kemudian Scott Lang aka Ant-man tertangkap, ia sekarang menjadi tahanan rumah, dan akan bebas dalam tiga hari lagi setelah dua tahun kejadian di film itu. Ia menghabiskan hari-hari terakhirnya sebelum bebas dengan bermain stealth mission, drum kecil, dan mempelajari sulap sederhana bersama putrinya yang lucu, Cassie. Tetapi ketenangan itu Tiba-tiba terganggu saat Scott Lang mendapat mimpi melihat seorang anak perempuan sedang bermain petak umpet bersama ibunya, ia pun melaporkan kejadian itu kepada Hank Pym dan putrinya Hope Van Dyne. Rencana besar pun dibuat. Mereka bertiga berencana menjemput Wanita itu yang ternyata istri Hank dan ibu dari Hope, Janet Van Dyne di alam Quantum Realm. Tetapi rencana itu semakin sulit karena Hank dan Hope merupakan buronan FBI, belum lagi ada gangguan dari kelompok Weapon dealer hingga dari seseorang yang tangguh dan misterius, The Ghost.



 ANT-MAN AND THE WASP memulai ceritanya dengan sangat menjanjikan. Menggunakan twist yang pernah dibahas di seri sebelumnya, film ini kemudian mengembangkannya lagi menjadi topik yang lebih dalam. Banyak kejutan terjadi di sepanjang film, hingga membuat momen demi momen begitu menyenangkan. Sutradara Peyton Reed sepertinya tau betul apa yang diinginkan penonton dari seri Antman, yaitu melihat aksi laga memukau disertai pertunjukkan benda yang mengecil dan membesar. Ditambah lagi dengan aksi The Wasp, kita akan dibuat lebih senang lagi pastinya.



 Tidak seperti film superhero kebanyakan, motif para karakter di film ini cenderung lebih personal. Dari mulai tiga tokoh utama hingga karakter antagonis yang sama sekali tidak berminat menghancurkan atau menguasi sesuatu. Semua itu sepertinya sejalan dengan fakta bahwa film ini memang dimaksudkan untuk menjadi film yang berdiri sendiri setelah film yang cukup membahana yaitu AVENGERS: INFINITY WAR, referensi film ini pun hanya terkait dengan pendahulunya dan CAPTAIN AMERICA: CIVIL WAR, membuat film ini memang dimaksudkan ibarat "OVA" kalau di serial anime, sebelum melanjutkan di jalur utamanya nanti di film-film MCU yang akan datang tahun 2019. 


 Naskah dari film ini pun sangat renyah dan enak diikuti. Unsur Komedi tentu masih jadi andalan, but again, bagian ini pun mengalamai peningkatan, joke demi joke dapat ditangkap mudah oleh penonton dan bagusnya para karakter yang terus ngebanyol jadi tidak jatuh menyebalkan seperti film MCU lainnya, misalnya GUARDIAN OF THE GALAXY VOL. 2. Bagian drama pun tidak mau ketinggalan atensi, meskipun minor tapi tidak menjadikannya terkesan hanya tempelan saja. Fakta bahwa film ini dipenuhi kata-kata ilmiah yang asing pun tidak akan membuat kesenangan kita berkurang. Namun, sayang bagian ini juga memiliki kelemahan yaitu penggambaran tokoh antagonis yang cukup mengecewakan, bahkan mengganggu. Film ini pun diakhiri dengan kurang memuaskan, dimana semua konflik yang diperjuangkan selama kurang lebih 117 menit seolah dimentahkan begitu saja.



 Kemudian Jika kita membahas para pemeran dan karakter film ini, sebenarnya kita akan berada dalam dilema. Paul Rudd masih memainkan karakternya dengan ciamik dan menyenangkan seperti di seri sebelumnya. Ia masih konyol tetapi tetap keren. Scott Lang aka Ant-man masih jadi karakter (MCU) favorit saya. Ia berbagi pujian ini dengan Michael Peña yang masih menjadi scene stealer sama seperti di film pendahulunya. Tetapi sebenarnya yang paling memancing perhatian saya justru Michael Douglas dan Evangeline Lily. Hank Pym mungkin merupakan karakter pendukung paling menarik di semesta MCU. Di satu sisi ia begitu bossy, sombong, dan menyebalkan tetapi sesungguhnya ia mempunyai jiwa patriotik dan kepedulian yang tinggi. Sedangkan Peyton Reed sepertinya menahan Evangeline Lily di ANT-MAN agar menjadi kejutan di film ini. The Wasp menggunakan kekuatuannya jauh lebih mahir daripada Ant-man. Ia lebih gesit, aksi yang lebih memukau, dan penguasaan pertarungan yang lebih baik disaat Antman malah sedang sibuk struggling dengan setelannya yang terus bermasalah.



 Bak sebuah golok bagian ini jugalah yang menyumbang minor paling besar. Disaat yang saya sebutkan diatas tampil gemilang, karakter major lainnya justru tampil mengecewakan. Dua karakter antagonis benar-benar tidak layak. Welton Goggins dengan karakternya Sonny beserta anak buah tak bergunanya hanya tampil mengganggu dan mengerecoki saja disini, tidak ada kesan berbahaya yang mereka pancarkan. Sedangkan yang paling parah adalah karakter The Ghost. Meskipun Hannah John-Kamen bisa memainkan karakternya dengan cukup baik, tapi itu tidak bisa menutupi betapa lemahnya naskah memperlakukan karakternya. Kita dibuat kesal(in the bad way) pada setiap tindakan dan kemunculannya yang tiba-tiba, dan kita tidak dibuat peduli sama sekali dengan motivasi dan tujuannya itu karena tidak berkontribusi positif sama sekali terhadap jalan cerita. Dan yang paling menyedihkan adalah bagaimana Payton Reed menyianyiakan Michelle Pfeiffer dengan hanya memunculkannya sesaat saja, ditambah karakternya yang cukup membingungkan dan underwhelming.

 ANT-MAN AND THE WASP bisa dikatakan film yang berhasil sekaligus akan mudah dilupakan. Walaupun tidak sekokoh film pertama dalam urusan naskah dan karakterisasi tapi tak dapat disangkal kalau film ini merupakan film yang sangat menghibur dari segi action maupun komedi. Peyton Reed seperti sudah tau betul apa yang dicari penonton dari Ant-man yaitu Aksi perubahan ukuran fisik dan benda-benda berikut komedi yang renyah dari Paul Rudd dan Michael Peña. Tayang setelah AVENGERS: INFINITY WAR tidak membuatnya terbebani, justru film ini tampil begitu lepas ibarat keripik kentang sebagai makanan penutup. Meski memiliki kesalahan dan kekurangan yang cukup mengganggu beserta ending yang terkesan alakadarnya tetapi asalkan film itu menghibur semua itu akan terampuni. Bukankah itu inti dari kita menonton sebuah pertunjukkan atau sebuah film? Untuk terhibur, kan?

Comments

Recent post