REVIEW Indonesia - WHO WE ARE NOW (2018): Mengeksplorasi arti dari pengampunan



 Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dalam hal apapun. Setiap manusia juga pasti pernah melakukan kesalahan. Setiap manusia. Hanya saja beberapa dari kita melakukan kesalahan yang besar dan fatal hingga bisa dikatakan jika hukuman dan pengampunan pun tidak akan pernah cukup untuk mereka. Tapi pernahkah kalian berfikir jika keadaanlah yang membuat mereka melakukan itu, sehingga melakukan hal yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi? Dan pernahkah kalian berfikir jika mereka pun ingin memiliki kehidupan yang normal setelah sekian lama berada dalam kegelapan. Back to the track.

 Beth adalah seorang wanita yang didakwa 15 tahun penjara atas kasus pembunuhan yang melibatkannya, tetapi ia terbebas baru-baru ini setelah menjalani hukuman 10 tahun penjara karena berkelakulan baik. Ia pun sekarang sedang berusaha mendapatkan kembali hak asuh atas anaknya dari adiknya, Gaby. Dibantu oleh para pengacara independen apakah ia bisa mendapatkan hak asuh atas anaknya kembali?



 Sinopsis diatas agak complicated dan sedikit spoiler sebenarnya, karena film ini menghabiskan nyaris 90% waktunya untuk memperkenalkan karakter dan masalah yang pernah dialaminya ketimbang menyusun konflik lanjutan, puncak, hingga penyelesaiannya. Film ini mungkin akan menyenangkan bagi yang suka suatu puzzle dalam sebuah film seperti pada WE NEED TO TALK ABOUT KEVIN misalnya. Tapi tak seperti film itu yang dibantu dengan alur maju mundurnya, film yang disutradarai Matthew Newton ini benar-benar menggunakan alur maju, sehingga kita hanya akan paham apa yang terjadi setelah melihat perlakuan karakter lain atau bahkan jika para karakter mengatakannya secara gamblang. 

 Naskahnya membuat film ini lebih mudah dimengerti. Kita hanya akan dibuat bertanya-tanya di awal film saja tatapi saat kita mengetahui apa yang terjadi kita hanya perlu mengikuti saja. Terdengar simple tapi sebenarnya saat kita menyaksikannya ada kesulitan tersendiri yang disuguhkan Matthew Newton dengan cukup cerdik. Fakta bahwa film ini lebih bermain di area personal juga sedikit menchallenge kepekaan kita dalam membaca ekspresi dan maksud dari perkataan para karakter ditambah dengan musik latar yang biasanya berguna bagi penjelas suasana juga benar-benar tidak terdengar disini.


 Saya sebenarnya agak takjub dengan 'sulit'nya naskah tetapi poin atau maksud pada film ini sungguh mudah dimengerti. Kita dipermudah mengerti konflik milik karakter utama dengan bantuan konflik karakter lainnya yang sebenarnya sama sekali tidak terhubung tetapi memiliki poin yang sama.

 Aktor lain memerankan karakter minor mereka dengan cukup baik. Semua mendapat porsi dan kontribusi mereka masing-masing. Emma Robert menyuguhkan salah satu penampilan terbaiknya, ia seakan sudah melepas status sebagai aktris idola remaja dan mulai mengambil peran-peran yang membutuhkan kedewasaan. Karakternya berperan penting sebagai pembeda dan fokus anomali bagaimana kita seharusnya memperlakukan orang-orang seperti Beth. Zachary Quinto yang sekarang nampak sulit dikenali juga berperan aktif sebagai pemanis suasana dan terkadang menyuntikkan konflik milik karakternya sendiri kedalam cerita. Dan tentu saja Julianne Nicholson adalah bintangnya. Masih mencoba membuktikan kualitasnya, bahkan setelah kontribusinya di I, TONYA yang masih tidak mendapat perhatian di film ini ia begitu bersinar. Kembali ingin menujukkan diri Ia memerankan karakternya begitu detail dari mulai ekspresi, gestur, bahkan ia begitu menata penekanan di setiap kata-katanya tetapi tak lupa memberikan pendalamannya sehingga karakternya nampak begitu nyata dan mengundang simpati dan atensi. Benar-benar bizzare Performance from one of the most under-appreciate actress in the age of 46! I mean like, kemana saja dia selama ini?

 Tetapi untuk ukuran film indie dengan durasi yang tidak sampai dua jam film ini serasa memikul beban terlalu berat. Saat awal film kita disuguhi dengan adegan yang sangat memancing ketertarikan tetapi alih-alih meneruskannya film justru mengalihkan kita pada Jess dan masalah pelik yang dialami kliennya beserta masalah pribadinya. Pada bagian ini film seolah lupa dengan Beth. Tetapi setelah memasuki pertengahan film kita jadi mengerti maksud dari pengalihan konflik tersebut dikarenakan memiliki maksud dan pesan yang sama. Itulah mengapa saya mengatakan film ini serasa memikul beban terlalu berat, film ini bisa saja mengurangi beban dan ambisinya dengan fokus pada Beth dari awal hingga akhir saja mengingat kemampuan Julianne Nicholson juga begitu bisa diandalkan.



 Rilis pertama kali di Toronto international film festival, WHO WE ARE NOW yang merupakan karya dari sutradara entah berantah yang bernama Matthew Newton ini adalah sebuah studi karakter jarak dekat yang akan mengeksplorasi arti dari pengampunan dan harga diri dengan pembedahan yang presisi. WHO WE ARE NOW memulainya dengan pengenalan konflik yang cukup ambigu, membelai kita dengan lembut untuk kemudian menikam kita langsung tepat di pusat rasa sakit oleh belati yang bernama Julianne Nicholson. Tema dan Bagaimana film ini berjalan akan mengingatkan kita pada I AM SAM untuk kemudian ditutup dengan adegan terakhir dari CAROL. Meskipun cukup berhasil saya masih tidak yakin film ini akan masuk bursa Academy Awards tahun depan. Tapi bisa jadi kasusnya seperti ROOMnya Lynne Ramsay yang bahkan bisa mengantarkan Brie Larson mendapat nominasi dan Oscar pertamanya. Keberhasilan adalah serangkaian kegagalan. Orang yang benar-benar bijak dan kuat pasti pernah berbuat kesalahan, di kecewakan dan mengalami banyak kegagalan dalam hidupnya di masa lalu. Tapi percayalah, hanya karena karena kita gagal kemarin bukan berarti kita juga akan gagal kembali besok. Setiap detik adalah kesempatan kedua, dan jika orang-orang belum siap atau belum mau menerima kita maka persetan dengan itu! Beth membuktikannya, begitu pula dengan aktris yang memerankannya.

Comments

Recent post