REVIEW Indonesia - TULLY (2018): Si pengasuh malam yang mempesona


"Aku disini untuk membantumu dengan segalanya"

 Punya seorang anak itu merepotkan. Sulit. Kita harus menyiapkan makanannya, mengurus pendidikannya, belum lagi kita harus bertanggung jawab terhadap perkembangan karakter dan moralnya. Bayangkan semua itu dan bayangkan bagaimana lelahnya Marlo karena punya tiga anak. Di kehamilan ketiganya yang tinggal menghitung hari Semua orang sebenarnya sudah menyarankan Marlo untuk memakai jasa Nanny atau seorang Babysitter tetapi Marlo merupakan tipe wanita mandiri, ia berpikir ia masih bisa mengurus kedua anaknya yang masih kecil ditambah dengan bayinya yang akan lahir nanti sendirian, belum lagi ia tak suka ada orang asing yang berkeliaran di rumahnya. Bahkan sang adik sudah menyewakan seorang pengasuh untuk Marlo sebagai hadiah tetapi ia tetap menolaknya. Ia beralasan sambil bercanda, ia tidak mau seperti di film Horror thriller dimana si pengasuh membunuh semua anggota keluarga dan si ibu harus tertatih-tatih berjalan dengan tongkat di akhir cerita. Di awal film ini kita sudah diperlihatkan dengan kegiatan Marlo sehari-hari. Ia menyiapkan sarapan, membereskan rumah, menyiapkan perlengkapan suaminya Drew, hingga mengantarkan anaknya sekolah. Bahkan kita sudah diperlihatkan pada kesulitan Marlo mengenai anak keduanya, Jonah. Dan anak yang sedang dikandungnya ini adalah anak yang tidak direncanakan sebenarnya. I mean, siapa yang mau punya anak disaat kita sudah punya sepasang anak yang masih kecil di usia yang menginjak 40an? Dari situ kita sudah berspekulasi sendiri bagiamana repotnya Marlo saat anak ketiganya lahir. Hingga pada saatnya anak itu pun lahir, Dan benar saja ia semakin kerepotan. Ia kurang tidur, rumahnya berantakan dan penampilannya kacau. Akhirnya ia pun menyerah. Ia akhirnya memanggil Nanny yang sudah adiknya sewakan. Seorang Pengasuh malam pun datang. Seorang wanita umur 20an yang seksi dan berjiwa bebas, Tully.

 TULLY berjalan dengan tempo sedang. Grafiknya terjaga tetapi di beberapa kesempatan ia tidak pernah segan menyisipkan ledakan kecil. Bagian perbagiannya bisa dikatakan rapi. Dari mulai pengenalan hingga penyelesaian. Meski dalam film ini bisa dibilang kita akan akan tertukar menyebutnya. Pengenalan disini akan berupa konflik awal, konflik awalnya akan berupa penyelesaian sedangkan penyelesaiannya sebenarnya berupa konflik puncak. Ya, sebenarnya ada bahasa yang lebih baik untuk menggambarkan plot pada film ini. Tapi secara kasat mata saya melihatnya demikian.

 Naskah, oh, naskah pada film ini benar-benar luar biasa. Sederhana, klise, tapi mencengkram. Saya suka dengan bagaimana Diablo Cody bisa menautkan plot demi plot menjadi satu kembang api utuh yang kemudian meledak dengan indah dan diakhiri dengan perasaan senang dan lega. Belum lagi bagaimana naskah memperlakukan para karakternya begitu manusiawi tanpa terkesan naif sedikitpun. 



 Perkembangan karakter merupakan yang paling menarik dari TULLY dan Charlize Theron-lah yang membuat semua itu terjadi. Naik turunnya kondisi emosi dan fisik Marlo menjadi daya tarik utama film ini. Ia adalah seorang istri dan ibu dari tiga orang anak, tinggal di rumah yang sederhana dan menjalani hari yang normal, tetapi sesungguhnya ia masih menyimpan hasrat dan merindukan dirinya di masa lalu. Dan ketika Tully datang dengan aura penuh semangat dan kebebasan yang menular seketika Marlo merasa terpesona. Bukan saja ia melihat dirinya di masa lalu dalam diri Tully, tapi bagaimana ia ingin sekali sedikit merubah kehidupannya andai kata ia bisa memutar waktu. Chemistry antara Charlize Theron dan Mckenzie Davis pun juga tampil begitu memikat. Ada rasa hangat dan menyenangkan yang terpancar manakala Marlo dan karakter Mckenzie Davis itu saling berinteraksi, berbincang di malam hari, hingga karakter Tully yang tidak hanya seorang pengasuh malam tetapi ia juga seorang pembawa perubahan yang baik tidak hanya untuk Marlo tetapi juga untuk kedua anaknya yang lain bahkan untuk suaminya.


 Tully adalah Mary Poppins yang diinginkan semua ibu-ibu di dunia, khususnya seorang ibu seperti Marlo. Ia baik dan rendah hati tanpa terlihat munafik, enak diajak berbincang, mata yang terus berbinar, berfikiran terbuka, berwawasan luas dan mempunyai jiwa bebas serta pribadi yang sangat menyenangkan. Maka tak heran Marlo dengan cepat begitu nyaman bersamanya hingga ia sampai di satu titik dimana ia membutuhkannya dan tak bisa hidup tanpanya. Nah, di bagian ini film mulai merasa nyaman dan dengan cerdiknya Jason Reitman melambatkan tempo film agar kita lebih leluasa mendalami karakter Marlo dan Tully. Bagian ini juga merupakan inti dari TULLY. Setiap maksud, arti, filosofi, dan apapun itu berkumpul disini hingga kemudian sang sutradara beserta naskahnya memberikan kita gong saat Marlo dan Tully berjalan-jalan ke kota di malam hari sebagai konflik puncak beserta penyelesaiannya.



 TULLY mungkin merupakan tontonan yang menyeramkan bagi para wanita yang sedang merencanakan memiliki momongan. Anak adalah anugrah, keajaiban Tuhan, rezeki dan bla bla bla. Ya, itu memang benar, tapi kita tidak bisa menyangkal bahwa kita akan sangat kerepotan dan kelelahan dalam merawat dan membesarkannya. TULLY memberikan semua pengertian itu dan juga pesan mengenai kebahagiaan diri dan penghargaan diri. Saat semua orang membutuhkanmu untuk menyenangkan mereka kamu harus menyenangkan dirimu sendiri dulu. Apalagi seorang ibu. Saya jadi ingat dengan yang selalu Mama saya katakan; saat seorang ibu bahagia maka seluruh isi rumah akan bahagia begitu pula sebaliknya. And that't exctly right. 

 Bahkan di konflik puncaknya dengan gamblang TULLY merepresentasikan mengenai jati diri dan kebanggaan kepada diri sendiri. Saat seseorang menikah apalagi seorang wanita ia akan berusaha menjadi figur baik yang bisa menjadi contoh untuk anak-anak mereka. Mereka bahkan akan rela meninggalkan kehidupan lama dan karakter asli mereka demi bisa membuat karakter baru yang dianggap lebih baik. Itu tidak salah tapi hanya karena kita harus membuat kepribadian yang lebih baik bukan berarti kita harus mengabaikan dan menghapus sepenuhnya karakter yang pernah menjadi bagian dari hidup kita. Bukankah dosa, kesalahan, dan kebebasan merupakan kehidupan yang manusiawi?


 Jason Reitman beserta sang penulis naskah Diablo Cody memang membuat film drama komik sederhana berbiaya rendah, tetapi di kolaborasi ketiga mereka dan kolaborasi kedua mereka dengan Charlize Theron ini membuktikan bahwa kehidupan manusia normal yang nampak membosankan sesungguhnya menyimpan berbagai kisah dan berbagai latar belakang yang begitu menarik jika ditangani dengan komposisi dan cara yang benar. 

 Memiliki Charlize Theron sebagai pusat cerita memang memberikan kekuatan yang menguntungkan baik dari kualitas maupun komersil. Seperti halnya film Jason Reitman lainnya seperti JUNO dan YOUNG ADULT kita akan dibuat tersenyum-senyum sendiri sekaligus merenungkan sejenak apa yang baru saja kita tonton. Kita akan dibuat tidak ingin berpisah dengan kisah dan karakternya, kita ingin tau apa yang akan terjadi pada Marlo. Apakah ia akhirnya menemukan kedamaian? Apakah akhirnya ia akan bersinar kembali? Tapi seperti yang dikatakan Tully, ini hanyalah sesuatu untuk menjembatani sebuah celah dan saat kita sampai di sisi lainnya kita harus melanjutkan hidup.

Comments

Recent post