Review - IF BEALE STREET COULD TALK (2019): Romansa indah dalam ketidakadilan


 Jika ada satu hal yang bisa disyukuri dari dunia ini itu adalah cinta. Cinta menimbulkan beragam perasaan dari mulai suka cita, kecewa hingga nestapa. Tapi kita akan terkejut akan seberapa hebat efeknya saat kita melakukan sesuatu hal atas dasar cinta yang penuh keikhlasan. Cinta pada kekasih, sahabat, maupun keluarga. Karena cinta harusnya menguatkan. Meskipun pada akhirnya kita akan menyadari bahwa cinta saja tidak akan cukup jika lawan kita adalah kekejaman dunia itu sendiri. Kali ini sutradara MOONLIGHT Barry Jenkins sepertinya semakin menguatkan reputasinya yang cemerlang dengan adaptasi indah dari novel James Baldwin ini. IF BEALE STREET COULD TALK, saat cinta adalah satu-satunya pegangan.

 Film ini akan menampilkan alur maju mundur, yang pertama adalah kilas balik ke kehidupan Fonny dan Tish, dua sejoli yang sudah akrab sedari kecil, menjalin persahabatan dan kemudian menemukan diri mereka telah saling jatuh cinta. Mereka pun mulai merintis masa depan mereka bersama, dari mulai berencana menikah hingga mempunya tempat tinggal yang lebih layak. Lalu ada alur maju di sini, yang menceritakan upaya membebaskan Fonny atas kejahatan yang tidak dilakukannya, sebelum anak dalam kandungan Tish lahir. Kakak dan ayah Tish, Joseph dan ayah Fonny, Frank pun berupaya mengumpulkan uang dengan cara apapun untuk membayar biaya seorang pengacara idealis yang bersedia mendampingi Fonny. Sementara itu, ibu Tish Sharon berusaha keras, bahkan menempuh perjalanan panjang guna mencari bukti dan kesaksian yang bisa membebaskan calon menantunya.


 Ini film yang indah, tapi masih berbobot. Film ini memanusiakan lelaki kulit hitam dengan cara yang media atau film tema sejenis, sering, tidak lakukan. Kita dapat melihat Fonny sebagai kekasih yang penuh kasih, perhatian, serta Joseph dan Frank sebagai ayah yang berbakti yang akan melakukan apa saja bahkan hal kriminal untuk keluarga mereka. Tidak ada dari mereka yang diidealkan atau dinampakkan tanpa dosa seperti film-film bertema rasisme lainnya, tetapi hal itu membuat mereka semua jadi nampak lebih simpatik karenanya. Film juga menunjukkan kekuatan yang dibutuhkan seorang wanita kulit hitam untuk bertahan di wilayah dimana rasisme masih "tren", ketika Tish mulai menumbuhkan baja di tulang belakangnya, dan Sharon pergi berperang dengan cara yang paling bermartabat, hati-hati, dan cara paling wanita yang mana menunjukkan film ini berbicara juga mengenai feminisme. Yang terpenting adalah, film ini menunjukkan dampak tidak hanya satu hal yaitu rasisme tetapi juga sistem prasangka, ketidakadilan, dan ekonomi yang selalu ada di masyarakat kalangan menengah ke bawah kebanyakan.


 Jenkins dengan bijak seperti tidak bisa lepas dari tim kamera belakang yang bekerja sangat baik di proyek sebelumnya. Sinematografer MOONLIGHT, James Laxton,entah bagaimana, berhasil menyuntikkan cahaya kuning kemerahan yang indah ke apartemen bawah tanah Tish dan Fonny, memberi film ini kilau memori dan hangat musim panas yang mencerminkan harapan dua protagonisnya. Dan komposer Nicholas Britell, dengan musik-musiknya yang bernuansa jazz begitu menghantui film, dengan ringan menusuk emosi tanpa membuatnya nampak overwhelming. 

Sebagai seorang pria kulit hitam di Amerika, Fonny adalah korban dari sebuah sistem yang diatur sedemikian rupa dengan kejam terhadapnya dan Jenkins menjalin amarah itu ke dalam filmnya tanpa tekanan. Kemarahan atas ketidakadilan yang tak tertahankan kemudian digantikan dengan kesedihan atas sebuah kehilangan yang tak tertahankan pula, dari gagal menjadi seorang seniman, suami dan ayah, juga ada perasaan pedih yang menyengat ketika Fonny mengalami kejatuhan. Tapi setelah semua yang telah terjadi tetap ada optimisme dan keyakinan pada kekuatan cinta yang restoratif.


 Film ini disetting tahun 1970-an tetapi nuansa yang dihadirkan serasa terlalu kontemporer, ini kuat, tetapi terkesan tidak membenarkan diri sendiri. Hal itu mengakibatkan nuansanya tidak pernah sampai ke titik terendahnya. Kemudian kecintaan Jenkins terhadap materi juga sayangnya malah menjadi sisi negatif, yaitu seringnya hal itu mengaburkan visinya. Dia telah berbicara tentang keinginannya untuk tetap setia pada naskah Baldwin, dialognya Tish yang diadaptasi oleh Jenkins sendiri, kadang berhasil tapi terkadang juga sedikit padat dan novelistik, ia seolah tak mau menghapus terlalu banyak prosa yang diciptakan Baldwin, tetapi hal itu juga jadi nampak lyrical. And that's really good, actually, namun, dialognya itu jadi terasa terlalu bertele-tele, dan terlalu terstruktur untuk ukuran sebuah film. Hal itu menjadikan pace menjadi lambat. Struktur yang tidak konvensional kebanyakan berhasil bekerja bisa menjadi terkadang terasa sedikit tidak fokus, dengan beberapa adegan yang gagal mendarat dengan dampak tabrakan yang semestinya. Hal ini pun berdampak pada durasi yang sebenarnya bisa lebih dipersingkat, meskipun para karakter yang ditampilkan membuat saya betah berada bersama mereka.

 Namun hal-hal minor itu seolah terobati karena Jenkins tetap menjadi seniman visual yang terus berkembang. Film ini sangat indah, masing-masing frame disusun dengan indah dan setiap pilihan lagu terilhat cocok dengan adegan yang ditampilkan. Dengan kanvas yang lebih luas dan budget yang lebih besar daripada yang ia miliki untuk MOONLIGHT, Barry Jenkins telah menciptakan film yang kaya dengan citranya yang semakin melekat, tanpa merasa terlalu stylish.


 Kiki Layne tampil cukup menjanjikan di film ini, dan sepertinya dari sini ia akan mulai dikenal. Dan meskipun jadi kekurangan tersendiri tetapi monolog yang ditampilkannya juga punya sisi menarik tersendiri. Tapi Regina King, oh, dia luar biasa sebagai ibunya Tish. Sharon diperlihatkan sebagai seorang ibu yang tangguh, yang rela melakukan apapun demi keutuhan keluarga, termasuk pada Fonny yang sudah dianggap keluarga. Scene dimana Tish memberitahunya bahwa ia telah hamil menunjukkan bahwa Sharon adalah sosok ibu yang tabah dan tau harus berbuat apa saat mengetahui kenyataan yang sulit. Alih-alih bersikap self protect seperti yang dilakukan ibunya Fonny ia malah menjadi pilar baru bagi anaknya, tak hanya itu, ia juga mengajak turut serta anaknya yang lain dan suaminya yang semula ragu. Belum lagi act solo-nya yang captivating. Tak ayal Barry Jenkins dan James Baldwin disini telah melahirkan karakter paling kuat di musim ini, dan Regina King mempresentasikannya dengan sangat baik pula. Para pria juga tidak mau kalah, Stephan James tampil begitu karismatik tetapi juga sensitif saat harga dirinya sebagai pria diusik, dan wajah penuh penderitaannya akan melebur dalam ingatan kalian. Sedangkan para supporting juga tampil baik. Michael Beach tampil menarik dalam sitkom kriminalnya bersama Colman Domingo sebagai ayah Tish dan Brian Tyree Henry, yang menyampaikan narasi mengerikan tentang realita penjara pada masa itu terlihat sangat menonjol dan cukup membuat saya terpaku. Dari segi cast IF BEALE STREET COULD TALK... juara.


 Overall, IF BEALE STREET COULD TALK adalah film cukup memuaskan. Meskipun tidak memiliki impact yang sama seperti pendahulunya, MOONLIGHT tapi Barry Jenkins masih memperlihatkan kemampuannya mengolah cerita beserta parade study karakter yang menarik ditambah dengan visual dan teknik kamera yang Indah, meskipun durasinya yang terlalu lama menjadi kekurangan tersendiri. Perasaan yang luar biasa adalah cinta, baik jenis romantisme yang dapat menanggung kesulitan besar maupun jenis keluarga yang mendukung dan melindungi milik mereka yang berharga. Tragedi terbesar dari film ini adalah kenyataan bahwa cinta saja tidak cukup untuk melindungi kita sepenuhnya dari kekejaman dunia, dan bahwa cobaan seperti itu bahkan bisa ditimbulkan sedari awal. Barry Jenkins akan membuat kita jatuh cinta pada dua karakter utamanya untuk kemudian melempar mereka pada kekejaman dunia yang bak neraka hidup, membuat kita ingin take action dan membantu mereka melewati cobaan yang mereka hadapi.

Comments

Recent post