Review - COLD WAR (2018): Romansa cinta epik ala komunis


Cinta, oh cinta sejak dulu deritanya tiada akhir. Ya, kira-kira seperti itulah kesan pertama saya setelah menonton film ini. Sutradara film pemenang Oscar untuk masterpiece 2013, IDA mencoba menggambarkan cinta yang tiada akhir itu, lewat Film terbarunya yang mengantarkan piala Cannes untuk best director ke rumahnya ini. COLD WAR, a smoky cold love story.


1949 di Polandia, Wiktor dan Irena berkeliling dari satu desa ke desa lainnya. Mereka mengaudisi anak-anak remaja berbakat untuk ambil bagian menunjukkan "suara otentik" Polandia yang mereka namai "Mazurek ensemble". Dalam audisi ini muncullah Zula, seorang gadis enigmatic yang mengaku berasal dari pegunungan tetapi alih-alih menyanyikan lagu khas desa pegunungan di Polandia dia malah menyanyikan lagu yang ia ketahui dari film-film Rusia. Irene pun mencium gelagat "wanita nakal" dalam diri Zula tetapi Wiktor tertarik karena suaranya yang otentik dan gaya Zula yang menurutnya berkarakter. Zula segera menjadi bintang di paduan suara itu hingga membuat paduan suara itu terkenal di seluruh Polandia. Namun tak butuh waktu lama, pemerintah kemudian menekan Wiktor dan Irene agar paduan suara mereka menyanyikan lagu-lagu bernuansa politik dan propaganda. Senyum Irene pudar, begitu pula dengan Wiktor. Wiktor pun memutuskan untuk meninggalkan Polandia. Ia memohon pada Zula untuk ikut, tapi Zula tak pernah datang di tempat yang sudah mereka sepakati. Akhirnya Wiktor dan Zula pun menjalani hubungan jarak jauh. Mereka bertemu dengan keadaan yang berbeda-beda untuk kemudian berpisah kembali.


Dari pedesaan Polandia, jalanan kota Berlin, pesona kota Paris hingga ibukota Yugoslavia kita akan menyaksikan kisah cinta satu dekade yang rumit, megah, sekaligus melodramatis tetapi Pawel Pawlikowski mengemas film ini dengan tekhnik yang sederhana. Pawel palikowski seperti membuat A STAR IS BORN versi dirinya. Dengan pendekatan yang lebih intens tidak sulit bagi kita terpikat pada cerita yang dihadirkannya. Rentang waktu cerita yang lama berbanding terbalik dengan durasi filmnya yang tidak mencapai 90 menit. Sehingga untuk ukuran film Festival film ini tidak kelewat "menyiksa". Satu scene bisa berarti satu tahun. Tapi bukan berarti pula kita tidak bisa meresapi esensi dari filmnya, karena sang sutradara menulis naskah film ini dengan begitu baik dan rapih.


COLD WAR adalah drama romance yang kaya. Bagaimana tidak, ia memberikan kita semua hal yang kita harapkan dari sebuah drama romantis. Dari mulai dua tokoh rupawan (atau sexy), kisah bak romeo dan juliet, dan tentu saja tragedi. Film ini hanya tidak memiliki dramatisasi, tapi hal ini hanya merupakan optional saja yang mana akan membuat segmented, tergantung kita menyukai atau terbiasa pada film yang seperti apa. Apalagi Pawel membuat filmnya ini cukup ambigu dalam hal penuturan (ya biasalah gaya film festival).

Dalam hal sinematografi Pawel masih mempercayakannya pada Lukasz Zal yang juga mengerjakan sinematografi IDA, maka dari itu kita tidak akan menemukan perbedaan yang berarti dalam hal pengambilan gambar. Menempatkan objek utama di bagian bawah atau pojok bawah sementara 80% keseluruhan frame merupakan objek latar seperti misalnya langit yang kosong. Bentuk rasio 4x3 sedikit mengingatkan saya pada gaya Xavier Dolan yang juga kerap memakai bentuk frame serupa, saya rasa tujuannya juga sama, yaitu agar kita bisa lebih fokus terhadap suatu objek terutama dalam bentuk portrait. Hal ini seolah sudah menjadi ciri khas tersendiri dari film-film Pawel dan tentu saja hasilnya begitu menakjubkan. Kita seolah berada di sebuah galeri fotografer monokrom terkenal dengan lukisan-lukisan kamera yang begitu artistik.

Perkembangan karakter jadi jualan utama film ini dan inti dari semuanya ini adalah Joanna Kulig. Perkembangan karakternya benar-benar menakjubkan. Pawel membuat karakternya ini begitu unik dan luar biasa. Dari yang semula remaja yang not-so-innocent, kemudian menjadi penyanyi Jazz, lalu menjadi selebriti papan atas yang banyak diperbincangkan semua orang, hingga menjadi penyanyi club rendahan, dan Kulig menampilkannya dengan sangat percaya diri dan penuh keyakinan. Kulig memancarkan aura primadona yang mempesona sekaligus complicated disaat yang bersamaan. Tenang, ambisius, intimidatif, tapi menjadi liar sekaligus rapuh saat bicara tentang cinta. Joanna Kulig sepertinya lebih baik dari Lady Gaga yang tahun 2018 (lalu) ini menawarkan hal serupa.


Overall, Pawlikowski memiliki gagasan, ia ingin kita mengunyah lebih lama, disaat yang bersamaan penuturannya yang ringkas bisa membuat cerita film ini terasa seolah ini sudah berakhir sebelum ini benar-benar dimulai. Jika kalian menginginkan lebih, ini karena dunia yang ditampilkannya, dan dua karakternya yang sangat menarik begitu dimanfaatkannya sehingga kita akan dengan senang hati bertahan lebih lama, mempelajari lebih, melihat lebih. Film ini diisi dengan kecantikan yang mengejutkan, dengan pencahayaan dan permukaan textur yang kaya, dan sedikit sentuhan black velvet kalian seolah tersesat didalamnya. Film yang benar-benar kuat, dengan dua knockout leads, yang memberi cerita bahan bakar mereka, daging mereka, sekaligus hati mereka yang patah.

Comments

Recent post