REVIEW Indonesia - DISOBEDIENCE (2018): Duo Rachel yang mencari kebebasan



Setelah A FANTASTIC WOMAN menjadi hit di berbagai festival 2017 lalu hingga sukses memboyong penghargaan Academy Awards untuk negara asalnya Chile, Sebastián Lelio kembali mengangkat kisah wanita kontroversial (lagi) di debut film berbahasa inggrisnya ini namun dengan pendekatan lebih dalam tetapi masih tetap tajam. DISOBEDIENCE, mempertemukan dua Rachel dalam romansa. Itulah daya tarik pertama film ini. 

 Kebebasan mempunyai banyak sekali definisi dan arti menurut sudut pandang masing-masing individu. Kebebasan dalam arti bebas sebebas-bebasnya tentu saja berbenturan dengan norma masyarakat terlebih lagi agama. Namun jika kalian dapat menggapai kebebasan semacam itu, berapa kira-kira harga yang bisa kalian bayar?

 Kisah dimulai dari Ronit, seorang photographer New York yang mendapat panggilan bahwasannya Orang tua satu-satunya yaitu Ayahnya, seorang pemuka agama yang paling disegani meninggal. Ia pun segera pulang ke London, kota tempat asalnya. Masalahnya adalah Ronit sudah tidak berhubungan dengan Ayahnya maupun komunitas agama dimana ayahnya memimpin selama bertahun-tahun dikarenakan perbedaan prinsip. Sesampainya di sana ia merasa canggung bertemu dengan keluarganya yang menatapnya dengan pandangan yang beragam. Untungnya disana ia bertemu dengan Dovid, yang merupakan murid dan anak angkat sekaligus penerus ayahnya. Ronit baru mengetahui bahwasannya Dovid sudah menikah dengan salah satu teman lama mereka, Esti. Dovid dan Esti pun bermaksud menunjukkan sedikit kemurahan hatinya untuk menampung Ronit sementara waktu dirumahnya, tetapi pertemuan Ronit dan Esti menimbulkan rasa, gejolak dan tentu saja masalah dan konflik dengan komunitas yang pernah mereka alami di masa lalu. 



  DISOBEDIENCE, yang merupakan hasil dari adaptasi bebas oleh Rebecca Lenkiewicz dari novel karya Naomi Alderman akan menusuk kalian lebih dalam daripada kisah cinta terlarang yang mulai tren saat ini. Pada awalnya kita hanya akan menganggap bahwa permasalahan Ronit itu cukup simple. Tapi diluar dugaan film memperkenalkan kita pada Esti, karakter utama lainnya yang mempunyai permasalahan yang bisa dibilang cukup rumit. Di adegan pembuka sebenarnya Lelio sudah memberikan kita semacam easter egg, atau bahkan inti dari cerita itu sendiri, membuat film ini lebih dari sekedar kisah cinta terlarang yang tak direstui masyarakat. Dan tentu saja, kegunaannya adalah agar cerita dari film ini bisa lebih universal dan bisa lebih mudah diterima penonton secara keseluruhan. 



 Plot berjalan cukup cepat. Meskipun terlihat sepi tapi tidak bisa dikatakan lenggang juga. Momen demi momen terus berjalan, dan bertautan satu sama lain nyaris tanpa jeda. Ini merupakan drama yang agak melelahkan, sebenarnya. Sangat disayangkan karena film bisa saja bermain lebih anggun dan lebih memainkan emosi penonton, diperparah dengan sifat para karakternya yang tidak terlalu mengumbar emosi. Tapi, Terlepas dari semua itu plotnya masih enak untuk diikuti dan tidak sampai menimbulkan rasa bosan. 

 Isu mengenai hal-hal tabu dan kaitannya dengan agama menjadi fokus utama dalam film ini. Sangat sulit menolak ekspektasi dari agama yang kita anut. Menolaknya juga berarti kita harus berpaling dari orang-orang yang kita sayangi. Rachel Weisz dan Rachel McAdams memberikan performa yang luar biasa di film ini (seperti biasanya). Di beberapa momen mereka membuat kita nyaman dengan kehangatan diantara mereka, tapi disisi lain begitu bertolak belakang, dingin dan sunyi, sedingin sinematografi dari Danny Cohen yang memperjelas kesan dan suasana. Ronit adalah seorang yang tegas dan idealis yang sedang berada dalam kesedihan dan itu terus terpancar dalam bisu-nya yang mempesona sepanjang film. Rachel Weisz membuat peran itu menjadi makanan empuk baginya. 

 Sedangkan Esti merupakan tipe istri muda pada umumnya yang cenderung biasa-biasa saja tetapi sesungguhnya ia memendam gejolak, ia membuat kita mengerti bagaimana topeng yang dalam film ini berupa wig merupakan pembatas dan semacam pelindung, baju tempur yang ia rancang sendiri untuk melawan perasaan yang tak yakin dapat ia kendalikan. Meskipun awalnya tampak meragukan tetapi ia dengan mengejutkan dapat membawakannya dengan cukup gemilang. Terakhir Alessandro Nivola, memerankan Dovid yang merupakan gambaran suami konvensional yang mencoba menunjukkan kemurahan hati yang merupakan ajaran utama dari semua agama, meskipun balasan yang ia dapatkan tak sepadan, ia juga memerankan dengan baik bahkan ia menjadi sentral yang memanen simpati dengan menunjukkan kedewasaannya dan keputusannya di akhir film akan menentukan nasib dua karakter utama kita. DISOBEDIENCE membuat mereka bertiga memperhitungkan harga dari sebuah kebebasan yang hakiki. Semua terkena imbas. Dan semua harus membayar dan berkorban. Kira-kira seperti itu kesan yang saya tangkap.



 DISOBEDIENCE adalah film ketiga Sebastián Lelio yang membahas perempuan dari sudut pandang berbeda, setelah GLORIA dan dia dengan begitu mendalam dan gamblang merepresentasikan masyarakat umum yang menempatkan wanita di segala macam tekanan dan himpitan dari aturan tak tertulis yang selalu menjadi junjungan. Di A FANTASTIC WOMAN, sorang wanita transgender berjuang keras hanya agar ia dapat ikut berduka di kematian kekasihnya tapi mendapat penolakan keras dari keluarga sang kekasih hingga orang-orang disekitarnya, dan fokus Leilo pada kekejaman aturan itu mendorong film pada semacam statement yang terlontar tegas. Dan Sang sutradara mengulangnya kembali dalam film ini. Tidak ada tokoh antagonis disini. Bahkan budaya yang keras dari agama Yahudi Ortodoks pada film ini tidak pernah benar-benar menjadi pihak yang jahat. Budaya yang keras dalam film ini sedekat mungkin mencerminkan masyarakat kita secara keseluruhan dan tindakannya terhadap penyimpangan-penyimpangan semacam ini. 



 DISOBEDIENCE, merupakan film yang cukup memuaskan dengan plot yang sepi tapi cukup padat dan sedikit membuat lelah. Tetapi naskah dan performa para Cast papan atas yang bermain gemilang membuatnya menjadi salah satu tontonan wajib di 2018 setelah trailernya muncul lebih dari satu tahun yang lalu cukup memancing atensi. Mengambil tema favorit Sebastián Lelio yaitu tentang wanita, sang sutradara dapat menyuntikan berbagai warna di sinematografi yang kelabu dan dingin, membuatnya menjadi kisah cinta terlarang yang kaya unsur kehidupan.

Comments

  1. wah reviewnya bagus detail, aku mau nonton film ini cuman agak ragu karena posternya macam wanita lesbi lho tapi kata teman2 ini film bagus

    ReplyDelete

Post a Comment

Recent post