Review Indonesia: MUDBOUND (2017), Melihat rasisme dari berbagai sudut pandang



 Rasisme merupakan tema yang seringkali diangkat ke layar lebar, khususnya film Hollywood. Setidaknya pasti saja ada satu atau dua film yang rilis mengenai tema ini. Dulu jika ditanya film mengenai rasisme terbaik mungkin saya akan menjawab TO KILL A MOCKINGBIRD atau yang lebih familiar, THE HELP dan 12 YEARS A SLAVE. Jika dalam film THE HELP kita disuguhkan dengan tiga perspektive maka lain halnya dengan MUDBOUND  yang menyajikan hampir enam Perspektive sekaligus kedalam film yang berdurasi dua jam. Tapi jika kalian berfikir film ini akan penuh sesak, kacau seperti film-film omnibus indonesia, dan terburu-buru maka kalian salah, karena film ini dengan mengejutkan tampil sangat rapih dan aman dari awal hingga akhir. Dengan plot yang tetap terjaga pada satu jalur cerita yang ditetapkan.

MUDBOUND menceritakan dua keluarga miskin beda ras yang tinggal di satu perkebunan yang sama di provinsi Mississipi, daerah yang paling terakhir yang masyarakatnya menerima kesetaraan ras pada tahun 40-an. Ada keluarga McAllan dan keluarga Jackson yang sama-sama menggantungkan hidup pada satu perkebunan yang sama, hanya tentu saja strata sosial keluarga McAllan lebih tinggi karena mereka warga kulit putih dan pemilik tanah sedangkan keluarga Jackson merupakan warga kulit hitam dan hanya merupakan buruh tani.


Pada bagian awal film ini akan menunjukkan sedikit scene yang merupakan pondasi kemana film ini akan mengarah atau istilahnya alur mundur dimana tentu saja adegan ini akan diulang kembali. Adegan kunci itu sukses memaku saya agar tetap fokus pada kelanjutan cerita. Ekspresi para karakternya yang canggung dan penuh arti seakan mengisyaratkan pernah terjadi suatu tragedi diantara dua keluarga itu. 

MUDBOUND terlihat spesial dibandingkan film sejenis karena para tokohnya begitu sensitif. Ide menggunakan beberapa sudut pandang dalam satu film yang hanya memiliki satu cerita saja memang sangat beresiko. Untung saja film ini tidak jatuh seperti VINTAGE POINT yang kacau balau itu. Seingat saya WONDER juga sedikit melakukan hal yang sama tapi dia tetap fokus pada karakter utamanya dan sukses untuk membuat kita peduli pada karakter-karakternya khususnya karakter pembantu. Tapi di MUDBOUND keenam karakter itu seolah jadi karakter utama saat lampu sorot diarahkan pada masing-masing dari mereka, dan saat cerita mulai mengarah pada karakter lain kita penasaran apa kaitannya dengan karakter sebelumya dan itu terus terjaga hingga film usai. Kita nyaris tak dapat mengetahui siapa karakter sentral pada film ini, karena porsi mereka yang bisa dibilang hampir sama.




Tidak seperti THE HELP yang dikemas dengan ceria dan sedikit komedik berikut penggunaan warna-warna yang pastel yang cerah, MUDBOUND tampil dengan tone yang cenderung depresif suasana yang gersang dan dingin kelabu, ketidakamanan dan saling curiga membuat kita waspada apa yang akan terjadi selanjutnya. Mengisyaratkan betapa tidak nyamannya suasana pada zaman itu. Tapi saat scene lebih tenang dan melihat karakternya tersenyum dan bersenda gurau kita seolah diberi harapan, esok pagi yang lebih baik.

Dee Rees benar-benar tau mau dibawa kemana film ini. Film seakan bercabang tapi sebenarnya dia tetap fokus. Ya, fokus merupakan kekuatan utama film ini, mengingat tehniknya tadi yang cukup beresiko. Tapi Dee Rees tak pernah goyah hingga film diakhiri dengan MIGHTY RIVERnya Mary J Blige yang juga sukses menuntaskan film ini dengan sangat manis dan cukup haru.

P.S Mary J blige juga mengisi soundtrack film THE HELP yang berjudul I'M THE LIVING PROOF, yang merupakan salah satu Soundtrack terbaik menurut saya.




Dan Mary J Blige juga sukses memerankan karakternya dengan sangat gemilang. Saya pikir dia hanya akan jadi penyegar saja tetapi ternyata karakternya benar-benar mempengaruhi grafik film secara signifikan, Dikarenakan mungkin background storynya yang paling menarik, yang bersumpah jika anak-anaknya akan mendapatkan aeluruh cinta darinya. This chick can really act. Kita bisa lihat kewaspadaannya, rasa takutnya, hingga cinta setiap kali ia bersama keluarganya. Dia seakan berebut panggung dengan Cary Mulligan yang juga bisa dibilang karakternya merupakan karakter utama yang sesungguhnya. Karakternya merupakan seorang wanita biasa pada umumnya. Dan seperti wanita lainnya dia ingin kehidupannya bak negeri impian tapi itu berbanding terbalik dengan kehidupan yang diberikan suaminya padanya. Terlihat sekali dia merindukan kehidupannya yang dulu dimana ia berkecukupan, makan enak dan bisa mandi setiap hari. Dia seperti versi lebih halus dari Jasmine-nya Cate Blanchett. Jika Jasmine memilih untuk depresi, lain halnya dengan Laura yang memilih mencoba tabah dan menerima suratan takdirnya. Perkembangan karakternya pun merupakan yang paling meyakinkan.

Karakter pria pun tak mau kalah. Rob Morgan dan Jason Mitchell bermain apik. Karakter Rob yang selalu mengalah, yang hanya ingin melepaskan diri dari jerat kemiskinan dan karakter Jason yang katanya tidak terbiasa menyerah pada pertempuran benar-benar kontras satu sama lain. Dan Garrett Hedlund juga yang karakternya sukses menjadi ukuran pembeda sikap humanisme pada warga kulit putih dan cikal bakal sikap open minded. Terakhir Jason Clarke yang karakternya menjadi perekat cerita sekaligus menjadi yang paling hitam putih. Sebagai contoh saat karakternya mencoba agar tidak timbul masalah dengan bersikap rasis seperti orang kebanyakan, tetapi terlihat sekali dia menyesalinya dan merasa tak enak hati atau saat ia membantu tapi dengan sikap tak acuh disertai persyaratan-persayaratan. Dan Clarke dapat menampilkannya dangan cukup gemilang. Ansamble cast film ini merupakan salah satu yang terbaik tahun ini. Bersajng ketat dengan THREE BILLBOARD OUTSIDE EBBING, MISSOURI.




Zaman mungkin sudah modern tapi tak dapat disangkal jika di negara kita pun rasisme masih terjadi meskipun kebanyakan isu yang lebih terdengar adalah mengenai agama. Film ini bisa menjadi studi karakter kita dimana sikap rasisme dan intoleransi hanya akan membuat kita terlihat menyedihkan dan suatu saat akan menimbulkan korban dan kejadian mengerikan.

Sekali lagi, MUDBOUND mungkin terlihat seperti film bertema rasisme kebanyakan. Tapi film ini terasa spesial dengan hadirnya beberapa sudut pandang tadi. Dan Dee Rees dapat menjaga film ini tetap fokus dan konsisten dari awal hingga film usai.

Comments

Recent post