Review Indonesia: SOEGIJA (2012)




Indonesia. Negeri yang terkenal akan keramahannya. Itulah yang sering dikatakan orang asing jika ditanya pendapatnya tentang orang indonesia. Apakah "gelar" itu masih layak disematkan pada kita?

Indonesia merdeka. Beragam suku, etnis, agama, dan ras kini telah merasakan yang namanya kenikmatan menjadi negara merdeka. Kemerdekaan, yang tentu saja penuh pengorbanan dalam mendapatkannya. Dan kita patut memberi penghormatan setinggi-tingginya pada para pejuang kita tercinta. Namun apakah kita juga sudah mendapatkan yang namanya kedamaian dalam bermerdeka seperti yang diinginkan para pejuang kita?

Setiap kali melihat berita di televisi saya semakin dibuat miris. Seolah isinya hanya kemarahan, dan iri dengki. Dari mulai rakyat kecil yang berkoar masalah ekonomi seperti para PKL, buruh transportasi umum, para ormas hingga yang paling hangat, para nelayan. Belum lagi jika membicarakan aspirasi para Mahasiswa kita. Kemudian para pejabat kelas atas dari yang terus ribut di senayan yang terus melemparkan opini yang hanya menguntungkan pribadi mereka, hingga mereka yang terus mencari celah hukum agar mendapatkan vonis ringan dari perbuatan mereka yang menjijikan yang rakyatpun sudah lelah menyaksikan mereka di televisi atau bahkan tidak peduli lagi.

 Tentu kalian masih ingat dengan meninggalnya seseorang karena Konflik suporter sepak bola. Sepertinya sekarang ini Berbeda suku, konflik. Berbeda ras, konflik. Berbeda agama, konflik. Beda fans club bola saja, konflik. Bahkan di satu agama yang sama pun kerap terjadi konflik hanya karena beda paham.

 Jika saya ditanya, apa yang paling saya ingat di tahun 2017 tentang indonesia, saya akan menjawab kalau 2017 merupakan peringatan kalau negara kita masih belum mendapatkan yang namanya kedamaian. 2017 merupakan tahun dimana tragedi intoleransi hingga tragedi kemanusiaan terjadi lagi. Ya, lagi. You still remember, right...



 Di tahun 2012 ada film berjudul SOEGIJA. menceritakan kisah orang pribumi Indonesia pertama yang menjadi uskup. Berlatar pada tahun 1940 - 1949, pada masa kemunduran Belanda dan invasi Jepang kemudian penyerangan kembali Belanda hingga Indonesia mendapatkan Kemerdekaan mutlaknya. Film karya Sutradara legendaris Garin Nugroho ini tetap menampilkan gaya khas penceritaannya, tetapi kali ini ada yang berbeda, karena kali ini Garin Nugroho menyampaikan pesannya lebih eksplisit. Mengurangi teknik penyampaian yang simbolik seperti yang sudah-sudah. Seolah dia sudah gerah ingin menyampaikan uneg-unegnya dan mungkin juga uneg-uneg kita juga.

Film ini seolah mengingatkan kita bahwa Indonesia mendapatkan kemerdekaannya tidak hanya dengan jalur perang yang disertai kemarahan, tetapi juga dengan jalur diplomasi yang membutuhkan pemikiran dengan kepala dingin. Dan juga cinta kasih. Dan Albertus Soegijapranata merupakan salah satu tokoh yang berkontribusi dalam kemerdekaan seraya terus menebarkan cinta kasih. Sementara bagi yang hanya mempunyai keberanian sembrono, dan hanya bisa berkoar akan nampak bodoh seperti karakter Banteng.



 Tetapi bagi kalian yang mencari film yang penuh adegan patriotik, adegan tembak-menembak berikut aksi griliya prajurit Soedirman juga tidak dilupakan begitu saja. Karena hal-hal tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah. Tapi dijamin kalian akan menemukan esensi yang berbeda. Termasuk tokoh antagonisnya yang dibuat lebih dalam, yang sering dilupakan film-film sejenis di indonesia. 

SOEGIJA menampikan beberapa lapisan cerita, dari mulai kisah keluarga tionghoa, kisah cinta seorang perawat dan fotografer asal Belanda yang rumit, cerita para geriliyawan hingga pergolakan batin seorang serdadu Jepang. Meskipun begitu film tetap menjadikan sang pastur sebagai fokus utama. Saat semua lapisan cerita itu datang dan pergi silih berganti sang pastur tampil sebagai perekat cerita dan membangun sebuah kesimpulan, didampingi Toegimin yang menjadi pencair suasana, juga agar menjauhkan plot dari kesan ruwet. Dan Garin Nugroho berhasil membuat semua lapisan cerita itu menjadi satu kesatuan cerita yang justru terlihat kompleks.



 Tata suara menjadi salah satu favorit saya mengenai film ini. Meskipun cendrung repetitif tapi selalu muncul di momen yang tepat membuat kita makin meresapi filmnya. Belum lagi beberapa lagu khas tempo dulu yang terdengar syahdu di telinga apalagi musik keroncongnya. Duet Endah Laras dan Wouter Braaf yang menyanyikan lagu Bunga Anggrek-nya Ismail Marzuki, sukses menjadi scene stealer dan menjadi momen yang paling diingat sepanjang film.

 Dan tentu saja untuk para cast, Nirwan Dewanto sukses menampilkan gejolak tersembunyi dari seorang Uskup yang harus selalu tampil menenangkan di tengah perang yang sedang berapi-api. Aktor kristen yang memerankan karakter muslim mungkin sudah sangat banyak tapi Aktor Muslim yang memerankan karakter Nasrani apalagi seorang Uskup itu merupakan hal langka, dab Nirwan Dewanto berhasil melakukannya. Tapi bintang utamanya adalah Annisa Hertami memimpin didepan dengan keresahan dan ketegasannya sebagai Maryem, belum lagi kegundahannya akan perasaannya pada seorang fotografer asal Belanda yang ditampilkan cukup detail olehnya. Selain itu semua cast berhasil menyelesaikan tugas mereka dengan baik dan aman. Tidak ada yang istimewa.



 Overall film ini adalah film yang sangat luar biasa bagus. Garin Nugroho memang tak pernah gagal membuktikan dirinya masih yang terbaik. Bahkan saya berani menyandingkan ia dengan Spielberg. SOEGIJA benar-benar berada di kelas yang berbeda dengan film indonesia lainnya khususnya di genre serupa. Film ini bisa dibilang film bertema sejarah terbaik. Meskipun mengandung unsur religius, tetapi sang sutradara tidak menjadikan itu fokus utama guna memberikan kesan universal. Khususnya di indonesia yang sangat beragam. Hiraukan orang-orang yang nyinyir dan Provokatif. Menonton film ini tidak akan membuatmu berpindah keyakinan atau menjadi murtad. Indonesia, Merdeka?

 OUTSTANDING

Comments

Recent post