Review Indonesia: CALL ME BY YOUR NAME (2017)



Cinta, selalu datang tiba-tiba. Dan cinta pertama adalah cinta yang paling diingat. Kebanyakan dari kita menemukan cinta pertama saat di usia yang sangat muda, sampai2 kita bingung apakah itu benar2 cinta atau hanya nafsu semata. Selain cinta, masa muda juga diwarnai dengan yang namanya mencari jati diri. Namun bagaimana jika cinta tersebut datang pada situasi dan pada orang yang "salah"?

CALL ME BY YOUR NAME, film arahan sutradara film arthouse kenamaan Luca Guadagnino mencoba menunjukannya lewat sudut pandang karakter paling menarik tahun ini, Elio. Di satu musim panas tahun 1983 di suatu tempat di negara italia bagian utara, remaja berumur 17 tahun (Timotee Chalamet) yang ayahnya seorang profesor (Michael Stuhlbarg), kedatangan tamu yang merupakan murid ayahnya seorang pemuda Amerika bernama Oliver (Armie Hammer) yang akan menjadi asisten ayahnya melakukan sebuah penelitian disamping mengerjakan buku yang ditulisnya dengan dibimbing sang Profesor. Oliver akan tinggal dirumah Elio selama kurang lebih enam minggu. Dari mulai rasa tidak suka, curi-curi pandang, dan kekaguman, Hasrat, dan benih-benih cinta pun mulai tumbuh dalam diri Elio seiring waktu, membuatnya bingung akan jati diri hingga orientasi seksualnya. Namun pertanyaan utamanya adalah, apakah Oliver juga memiliki perasaan yang sama?


Film ini diadaptasi dari buku karya Andre Aciman berjudul sama. Atau kalau versi indonesianya (ya, ada versi indonesianya) berjudul CINTA TERLARANG. Saya membaca versi asli bukunya sekitar empat tahun lalu. Bagi yang sudah membaca bukunya dijamin akan sangat terpuaskan. Bahkan James Ivory memperlebar bahan naskahnya, membuat momen demi momen terlihat lebih bercerita apalagi dengan shot kamera yang keren sekali menangkap keindahan kota yang klasik hingga pedesaan di musim panas di italia. Memang tidak 100% di visualkan, beberapa momen dan karakter yang ada di buku tidak ditunjukan pada film ini. Bahkan bagian terakhir bukunya tidak di filmkan sama sekali, but that's not a big deal at all.


Luca Guadagnino terlihat sekali disamping menyuguhkan kisah romansa yang indah dan penuh gairah seperti bahan utamanya, ia juga mencoba menampilkan studi karakter mengenai pencarian jati diri seseorang di pase paling krusial yaitu masa remaja. Dimana ambisi, hasrat, dan emosi sangat menggebu. Ia sangat memperhatikan sensitifitas karakternya hingga tiap momen yang muncul menimbulkan kesan-kesan tersendiri mengikuti mood karakter utamanya. Ya, karakter memang senjata utama film ini.




Untuk kategori film drama dan arthouse, film ini sendiri lumayan padat momen dengan gayanya sendiri, apalagi bagi yang sudah membaca bukunya pasti akan setia menunggu momen demi momen yang akan hadir. Mungkin kebanyakan orang akan bosan dengan gaya penuturannya yang terkesan lambat, tidak terstruktur, karakter yang datang dan pergi begitu saja tanpa pengenalan dan sebagainya. Tapi jika anda sudah klik pada film ini dan peduli pada karakter utamanya, anda akan merasakan kesan tidak ingin berpisah saat credit mulai berjalan membuat kita tertegun sebentar sembari mengucapkan "Later!" pada Timotee Chalemet, karena memang film ini sendiri memfokuskan pada dua karakter utama, terutama karakter Elio. Diiringi musik dari Sufjan Steven yang sepanjang film terus mengikat atensi penonton dari mulai scoring lantunan piano hingga theme song di tiap momen yang tampil hingga film usai. (Dan akhirnya Mystery of love-pun masuk dalam playlist musik saya.)


The Cast, mereka bekerja dengan baik. Disamping dua karakter utamanya karakter lain seperti orang tua Elio yang tak bisa diabaikan begitu saja, kedua asisten rumah tangga, hingga penampilan singkat para tamu keluarga Perlman benar-benar menampilkan karakter mereka dengan baik. Michael Stulberg sukses membuat kita respect terhadap karakte yang dimainkannya. Percakapan pribadi antara karakternya dan Elio sukses membuat kita terenyuh. karakternya seolah memberi tau kita akan bagaimana seharusnya orang tua itu, hanya memberi tak harap kembali. Best movie parents ever. kemudian ada si cantik Esther Garrel sebagai Marcia yang membuat kisah ini mengeluarkan semacam percikan, meskipun singkat tapi berpengaruh secara signifikan terhadap cerita dan pada perkembangan karakter Elio. Saya melihat Oliver dalam potret Armie Hammer, ia tetap menjaga kemisteriusan karakter Oliver yang disisi lain terus memancarkan pesona yang indah tapi seakan mengancam. Untuk yang sudah membaca bukunya, ia akan seperti menambahkan beberapa hal pada karakter Oliver tanpa terlihat overacting. Dan saat ia beradu akting dengan Timotee Chalamet dalam satu frame mereka berkolaborasi dengan indahnya. Menciptakan ikatan yang terasa kuat dan mengalir membuat kita terlibat di dunia kecil mereka. Dan tentu saja Timotee Chalemet adalah bintangnya, dia bersinar begitu terang. Ia terlihat sangat percaya diri dengan peran yang ia mainkan. Seakan menegaskan bahwa tidak ada yang lebih pantas memerankan tokoh Elio selain dirinya. Dari mulai detail raut wajah, gestur, suaranya di beberapa monolog, hingga tentu saja long take saat credit mulai berjalan, membuat kita tak dapat melupakan penampilannya dalam waktu yang lama. Jika ada yang dapat menghadang langkah Gary Oldman untuk mendapat oscar, Timotee Chalamet-lah orangya (sorry Tom Hanks). Pertarungan meraih best actor tahun ini akan benar-benar sengit.



Luca Guadagnino sekali lagi membuktikan bahwa ia adalah sutradara yang ahli dalam menjerat atensi penontonya lewat cerita yang sederhana tapi memikat, sinematografi yang cantik, dan pemilihan cast yang juara seperti yang pernah di lakukannya di I AM LOVE. Jika di film yang dibintangi Tilda Swinton itu, kita diperlihatkan bagaimana seorang yang mengalami "puber" kedua yang biasanya dialami pria tapi Luca Guadagnino memilih wanita paruh baya sebagai karakter utamanya, dan membuatnya harus memilih apakah tetap melanjutkan hidupnya yang dulu atau memilih cinta. Call ME BY YOUR NAME kurang lebih menggunakan formula yang sama hanya saja lebih unggul di penceritaan dan naskah. Ini memang bukan tontonan semua orang, mengingat masyarakat kita yang masih sangat konservatif, apalagi dengan isu yang sedang hangat dibicarakan saat ini. Tapi jika anda adalah seseorang yang berfikiran terbuka dan menganggap bahwa semua hal itu merupakan bagian dari kehidupan serta tidak keberatan menyaksikan hal-hal yang menurut sebagian orang tak pantas maka bersiaplah terpukau oleh film satu ini dan (once again) penampilan Timotee Chalemet.

"Apapun yang kau lakukan pada hidupmu adalah urusanmu. Tapi ingat, kita hanya diberikan kesempatan memiliki hati dan tubuh ini sekali."
Lakukan apa yang menurutmu benar. Karena apa yang benar dan salah mengenai dirimu hanya dirimulah yang berhak memutuskan. Tapi jangan sampai kau menyesal, apapun bentuk penyesalannya.

Comments

Recent post