REVIEW Indonesia - CHRISTOPHER ROBIN (2018): Bertemu kembali dengan Winnie The Pooh



Saat anak-anak dulu kita berharap segera dewasa secepat mungkin. Cepat mencari pekerjaan, melakukan apapun yang kita mau, pergi kemanapun sesuka hati tanpa perlu izin orang tua. Ya, benar-benar mendamba itu dulu. Tapi kemudian kita menyadari jika kehidupan dewasa tidak semudah yang kita pikirkan. Akan ada banyak konflik, kemunafikan, belum lagi rasa bosan yang selalu hinggap. Hingga kemudian kita berharap dapat mengulang lagi masa kecil kita, bermain sepuas hati, mencari masalag hingga dimarahi orang tua. Hal itu yang coba disampaikan Mark Forster dalam film yang sudah kita nantikan sekian lama. Perpaduan antara teh, kue, madu dan kemuraman kota London di periode Victoria.

Christopher Robin kini telah dewasa. Pulang dari medan perang untuk menjalani kehidupan bersama istri dan anak perempuannya. Selepas itu kehidupan menjadi membosankan baginya. Ia menjadi seorang Workaholic yang bahkan tetap bekerja di akhir pekan di kantornya. Yup, seperti kehidupan orang dewasa lainnya, kehidupannya kini lebih rumit dan penuh konflik baginya. Ia menjadi kacung atasannya dan diprotes oleh keluarganya karena terlalu sibuk bekerja. Sementara itu teman masa kecilnya yaitu Winnie The Pooh menemukan teman-temannya menghilang. Mencoba mencarinya tetapi ia malah sampai ke dunia manusia. Dan bertemu dengan Christopher Robin kembali yang sudah Dewasa.


Nah, memang premis pada film ini sudah tidak asing lagi, dimana seseorang yang telah melupakan kegembiraan kemudian bertemu dengan sahabat kecilnya atau makhluk dongeng untuk kemudian menyadari bahwa kehidupan tidak harus dijalani dengan kemuram durjaan. The Wizard of Oz mungkin yang menjadi  pelopor premis seperti ini, lalu kita memiliki HOOK (sequel dari Peter pan), yang terbaru, ALICE IN THE WONDERLAND hingga yang akan datang, THE NUTCRACKER AND THE FOUR REALM. Terlebih jika kita membahas Disney yang menjadi rajanya film-film dongeng fantasi. Namun ada sesuatu yang spesial dari Film yang disutradarai oleh Mark Forster selain nuansa nostalgianya. Ya, spesial.

Diawal film kita langsung diperlihatkan dengan kehidupan Pooh, Christopher Robin dan teman-temannya. Marc Forster seolah ingin memberitahu bahwa meskipun film ini berjudul Christopher Robin kita tetap akan bertemu dengan Pooh, Tiger, Piglet, hingga Eeyore, para karakter yang sudah kita cintai sedari dulu. Ya, sutradara di film ini memang begitu mengandalkan unsur nostalgianya. Dan itu berhasil. Entah kapan terakhir kali saya bertemu dengan Pooh di televisi. Seperti Christopher Robin, saya seperti bertemu teman lama yang menyenangkan. Banyak yang ingin kami sampaikan satu sama lain.



Tempo dan alur film ini terbilang cepat. Bab per bab pada film ini dijalankan dengan hit to the point. Tidak ada simbolisme-simbolisme, semua maksud dan pesan yang ingin disampaikan akan dilemparkan langsung pada penonton.

Semakin bertambahnya umur kita diharuskan untuk menjadi pribadi yang dewasa. Tentu menjadi dewasa merupakan hal yang baik. Tetapi kedewasaan juga merenggut kegembiraan yang hanya bisa kita rasakan di masa kanak-kanak. Tertawa akan hal remeh, bermain sepuas hati, bercita-cita seabsurd mungkin... Mempunyai teman Khayalan. Semua itu akan tidak relevan bagi jiwa dan otak dewasa kita. Ya, anak-anak adalah makhluk paling bahagia di muka bumi ini. Apa kita orang dewasa tidak bisa merasakannya (lagi).

Konsep pada film ini mungkin juga akan lebih dimengerti oleh anak-anak ketimbang para orang tua yang membawa mereka ke bioskop. Dipenuhi oleh keterbukaan tertentu, tetapi juga tersandung dan jatuh di lubang kebosanan yang tidak terlalu dalam, hal ini seolah membaurkan antara konsep coming of age dan konsep being of age. Yup, ide itu adalah inti dari keseluruhan film ini mengenai dikotomi yang begitu ketat antara bekerja yang membuat stres dan bermain yang menggembirakan. Film ini juga menjadi Horror tersendiri bagi anak-anak pra remaja atau dewasa. Bermainlah selagi kalian bisa.



Naskah yang ditangani berbeda dari versi aslinya oleh Alex Ross Perry hingga Allison Schroeder ini begitu terkesan biasa saja. Seperti yang saya bilang diatas, kita sudah pernah menemui premis semacam ini sebelumnya. Tapi Alex Ross disini seolah memberikan detail yang berbeda pada naskah yang ditanganinya ini.

Faktanya adalah film ini sepertinya lebih baik dalam menggambarkan masalah ketimbang menyelesaikannya. Tapi ada hal yang menarik disini. Disney mengambil langkah yang tidak biasa mereka lakukan pada film ini. Mereka memasang penulis idealis Alex Ross yang disokong oleh Tom McCarthy yang 2015 lalu menggemparkan dengan SPOTLIGHT-nya. Keputusan itu pun sukses membuahkan semacam kejutan. "Nothing Comes From Nothing" itulah kata yang diucapkan Pooh. Saat kita merasa aneh bagaimana sesosok makhluk imut yang kerjaannya hanya mencari madu dapat mengutip kata-kata dari William Shakespeare, aspek terkuat dari kontribusi Alex Ross  dan film ini secara keseluruhan adalah bagaimana mereka menemukan penerapan yang begitu praktis seperti itu untuk menggambarkan sosok Pooh.

Bahkan ketika karakter utama kita terjatuh atau malah menyudutkan diri, film tidak pernah berhenti mencoba memberi pengertian akan apa yang akan kita dapatkan saat kita mengorbankan orang yang kita sayangi. Film ini terlalu menjual dirinya sendiri hanya dengan satu pijakan terus menerus. Bahkan konsep dunia fantasi Pooh digambarkan nampak seperti hutan A la Tim Burton ketimbang mengaplikasikan nuansa milik A. A Milne. Film terus mendorog Pooh dan kawan-kawannya ke dunia nyata untuk lebih memperjelas kegunaan mereka pada kehidupan karakter utama dan lebih menggambarkan mereka seperti makhluk negeri Dongeng yang keluar dari sumur seperti film ENCHANTED ketimbang teman Khayalan.

Ewan McGregor cocok sekali dengan perannya ini. Christopher Robin dewasa di film ini digambarkan begitu membosankan tetapi sesungguhnya ia masih menyimpan sifat riangnya. Jim Cummings adalah Pooh dan akan selalu begitu namun sayang performa luar biasanya tidak bisa menyelamatkan peran Tigger yang seharusnya bisa dikembangkan lagi. Hayley Atwell sukses sebagai penyokong konflik. Sosoknya seolah merupakan sosok yang siap membuka tangannya saat karakter utama telah mengerti akan kesalahannya. Namun yang paling menarik perhatian saya adalah suara dari Brad Garrett yang mengisi suara Eeyore yang depresif tapi terus mengundang tawa di setiap celetukannya.



Overall, Christopher Robin adalah film yang cukup menyenangkan. Terlihat lebih depresif tapi begitu dewasa dalam penyampaiannya. Meskipun durasinya seharusnya lebih lama lagi karena ada semacam pesan yang belum tersampaikan, tapi saya cukup puas dengan versi ini. Menyenangkan bisa tumbuh bersama Winnie The Pooh dan kawan-kawannya beserta Christopher Robin. Transisi yang diberikan pun begitu relate dengan yang anak-anak alami hingga menjadi seorang dewasa. So, tekankan pada anak-anak kalian bahwa kita akan memiliki saingat banyak waktu(terlalu banyak malah) untuk menjadi Dewasa, tapi kita hanya memiliki sedikit waktu untuk menjadi anak-anak. Jadi, bergembiralah sebisa mungkin.

Comments

Recent post